Review Film: ‘Penyalin Cahaya’


Terlepas dari skandal salah satu kru yang mencoreng nama ‘Penyalin Cahaya’ di ranah publik, film garapan Wregas Bhanuteja ini patut diberi apresiasi tinggi. Selain menjadi jawara dalam festival film dan ajang penghargaan di Indonesia, ‘Penyalin Cahaya’ pun mendapatkan sambutan baik di kancah internasional.

Sempat berangkat ke Busan International Film Festival (BIFF), ‘Penyalin Cahaya’ berhasil memboyong 12 Piala Citra dari 17 nominasi. Film ini juga menghiasi layar JAFF tahun lalu dan memanen beragam pujian baik dari penonton maupun kritikus film.

Dengan tayangnya ‘Penyalin Cahaya’ di Netflix, dapat dipastikan bahwa debut film panjang dari sutradara dan aktris utamanya ini memang harus disaksikan oleh masyarakat luas.

Potret dari sebuah dunia yang kerap dibungkam saat ada kasus kejahatan seksual, layak untuk dilihat oleh banyak mata. Dapat dibilang, baris-baris pujian dalam kolom artikel yang memuat ‘Penyalin Cahaya’ bukanlah omong kosong belaka.

Sebuah satir dengan sandiwara berkelas, ‘Penyalin Cahaya’ akan memaksa penonton untuk menelan pil pahit dalam perjuangan mencari keadilan.



Untuk merayakan kemenangan teaternya, Suryani (Shenina Syawalita Cinnamon) mengiyakan ajakan berpesta dari para senior. Keesokan pagi, dia terbangun dalam kondisi tak mengingat apapun dan harus kehilangan beasiswa karena foto unggahan dirinya yang sedang mabuk kemarin malam.

Suryani diusir dari rumah dan akhirnya menumpang di tempat fotokopi kampus milik sahabatnya, Amin (Chicco Kurniawan). Dari sanalah mereka bekerja sama untuk mengungkap siapa pelaku yang seenaknya mengambil foto Suryani. Selama proses investigasi berlangsung, sebuah rahasia gelap pun mulai terkelupas sedikit demi sedikit.



Penyumbang decak kagum terbanyak di film ini adalah alur cerita yang tidak mengada-ngada. Dari satu bagian ke bagian lain sangat mudah diikuti dan tidak berbelit-belit. Walau genre utama dari film ini adalah Mystery-Crime, yang identik dengan twist dimana-mana, tapi sutradara tetap fokus pada penyajian pesannya.

Twist-nya memang sederhana dan sudah sering diulang di film dengan genre serupa, tapi perjalanan untuk mencapainya mampu menutup kekurangan itu. Dari ketika Suryani disidang dan pembelaannya ditolak oleh para dewan, penonton sudah diajak bertanya-tanya kira-kira siapa dalang dari semua ini?

Ketika Suryani diusir dari rumah tanpa perlindungan apa-apa selain pakaian yang ia bawa, perasaan miris mulai merambat seketika. Pasalnya, sebelum ia pergi ke pesta, Ayah Suryani (Lukman Sardi) telah mencoba menjaganya dengan meminta Suryani untuk melapisi bagian dalam kebaya.

Selain menyiratkan “pakaian tidak dapat disalahkan dalam kejahatan seksual,” adegan ini juga seakan memberi tahu bahwa perlindungan tidak cukup diberikan di awal saja dengan mengatur pakaian seseorang, akan tetapi perlindungan harus tetap diberikan hingga korban mendapatkan keadilan.




Lalu bagian paling mengasyikkan sekaligus mencekam dari film ini adalah ketika Suryani mulai meretas perangkat teman-temannya demi mencari barang bukti. Kesan jenaka khas anak kuliahan membawa sedikit suasana segar di antara tegangnya atmosfir kala itu.

Hanya menambahkan, tidak menghilangkan. Karena setelahnya, mimpi yang lebih buruk mulai bermunculan.

Tidak ada sesuatu yang sia-sia dalam pembawaan cerita. Sensasi asam lambung naik karena ikut deg-degan ketika petunjuk mengerucut sangat terasa. Begitu juga sensasi darah tinggi ketika berkali-kali orang-orang di sekitar Suryani memaksa ia bungkam.

Frame-frame ikonik pun mampu membuat napas penonton tertahan hanya dengan adegan sederhana. Contohnya ketika Suryani diminta untuk mengklarifikasi terhadap tuduhan yang dilayangkan kepadanya. Suryani berdiri sendirian di hadapan teman-teman, dosen, bahkan ayahnya sendiri. Bahkan, sang ayah bertugas untuk merekam apa yang Suryani sampaikan.


‘Mencabut tuduhan. Menganggap segalanya hanya salah paham. Damai secara kekeluargaan’.

Frasa-frasa ini merupakan pengulangan dari sekian banyak kasus kejahatan seksual yang merebak dimana-mana. Ketika korban benar-benar dilemahkan dan tidak lagi dapat perlindungan.

Kebenaran yang seharusnya menjadi hak milik korban malah digoreng habis oleh pihak-pihak tak bertanggung jawab. Seakan kebejatan ini hanya persoalan dua bocah yang dapat selesai dengan jabat tangan dan saling melupakan.

Kesesakan ini diperkuat dengan adegan fogging berulang-rulang di sepanjang film. Awalnya terasa biasa saja, tapi begitu mendekati klimaks ternyata asap sendiri menjadi bentuk visualisasi atas keburaman akhir dari para penyintas kejahatan seksual, sekaligus sesuatu yang membatasi ruang gerak mereka mencari keadilan.

Karakter utama kuat dengan kerapuhan masing-masing

Tidak dapat dipungkiri bahwa penonton tidak memerlukan banyak usaha untuk menyukai tiap karakter. Masing-masing bisa saling menonjol tanpa terbawa arus satu sama lain.

Meski begitu ada beberapa karakterisasi yang lumayan bikin bertanya-tanya.

Suryani sebagai penyintas kejahatan seksual kurang diberi porsi untuk memperlihatkan lukanya setelah mengetahui apa yang terjadi. Sebenarnya adegan Sur bersama ibunya sudah cukup menggambarkan, hanya saja alangkah lebih baiknya jika ada masa ketika Sur benar-benar berhenti sejenak untuk menggali kesialan yang menimpa dirinya.

Sepertinya hal itu akan terasa lebih realistis karena pada kenyataannya, para penyintas akan lama pulih dan cenderung bergelut dalam trauma yang dialaminya.



Karakter Amin sendiri sebagai pemeran pria utama yang mendapatkan Piala Citra masih terasa dangkal. Memang tindak-tanduk dan keputusannya untuk memperjualbelikan data pribadi sangat beralasan, hanya saja tidak cukup kuat. Apalagi ketika ia membantu Suryani dalam mencari pelaku utamanya.

Akan lebih nendang lagi jika Amin memperlihatkan betul keengganannya untuk membantu Sur karena ia tahu jika hal itu sama saja dengan bunuh diri. Atau memang sengaja menjadi karakter yang munafik?

Ada alasan kuat mengapa ‘Penyalin Cahaya’ memenangkan nominasi Best Sound, Best Original Score dan Best Original Song di Piala Citra. Sentuhan degung dalam adegan-adegan mencekam atau pun adegan saat Suryani kebingungan seakan mewakilkan degup jantung para penonton.

Degung ini pun beberapa kali diaransemen dengan musik House hingga menciptakan suasana trippy dalam beberapa babak.

Pemilihan House-Remix sangatlah tepat untuk menggambarkan sebuah dunia ‘fotokopi’. Fotokopian x House-Remix sudah seperti trope yang wajib ada di budaya perkampusan. Dengan komposisi yang pas, walau musik jenis ini seringkali menyakiti telinga beberapa orang, dalam ‘Penyalin Cahaya’ malah berkesan nagih.

      

Pemenggalan kepala Medusa oleh Perseus bisa jadi merupakan salah satu kisah paling tragis di mitologi Yunani. Kisah ini pula yang menjadi perantara sutradara untuk menyindir kelalaian masyarakat dalam menyikapi kejahatan dengan cara yang lebih artistik.

Perseus adalah anak dari Zeus yang terkenal akan kecerdasan dan keberaniannya. Medusa sendiri adalah seorang wanita cantik jelita yang dikutuk oleh Athena menjadi sesosok gorgon (monster) berambut ular karena diperkosa oleh Poseidon. Perseus diminta oleh raja Polydectes untuk membawakannya kepala Medusa jika ingin ibunya dibebaskan dari perbudakan.

Perseus dibekali dua senjata, Hades memberikannya sebuah topi yang mampu menghilangkan keberadaannya. Sedangkan Athena memberinya sebuah tameng yang kelak membantunya untuk melihat refleksi Medusa.

Perseus bergerak dalam diam, matanya tak lepas dari cerminan Medusa di tamengnya, dan dengan pedang dari Hephaetus, ia pun memenggal kepala Medusa yang sedang tertidur di gua.

Tidak cukup disitu, kepala dari Medusa pun ia gunakan sebagai senjata untuk membatukan musuh-musuhnya.

Dalam ‘Penyalin Cahaya.’ Teater Suryani baru saja menampilkan pertunjukan Perseus dan Medusa. Di scene awal terlihat Suryani mengunggah foto Medusa ke media sosialnya sendiri. Sebuah foreshadow bahwa ia adalah Medusa itu sendiri dan kelak ia akan berhadapan dengan Perseus.

Tubuhnya akan selalu menjadi sejarah setelah berhasil direnggut paksa. Jejak digitalnya tidak akan hilang, bahkan mungkin akan dianggap sebagai sebuah karya semata.

Spoiler alert! Foto-foto tubuh para korban dijadikan instalasi pertunjukan Perseus dan Medusa. Pertunjukan yang memenangkan penghargaan dan berkesempatan tampil di Kyoto. Entah mengapa jika melihat ini, rasanya semakin sulit untuk tidak melibatkan skandal si co-writer dengan ‘Penyalin Cahaya’.

Perseus sendiri akan terus bergerak dalam anonimitas, bahkan mungkin masih dapat berkeliaran dengan nama baiknya. Orang-orang yang mencoba menghadang Perseus akan dibatukan.

Perseus dalam ‘Penyalin Cahaya’ muncul apik dengan dikelilingi asap fogging. Tariannya seirama dengan wewara dari petugas, “Menguras, Menutup, Mengubur.”

Menguras habis harga diri korban. Menutup kasus tanpa adanya keadilan. Mengubur bukti dan kebenaran hingga terlupakan



Posting Komentar

0 Komentar