REVIEW - HOW TO MAKE MILLIONS BEFORE GRANDMA DIES


Warisan dapat menghancurkan keluarga.
Mungkin darah lebih kental dari air, tapi ia bisa seketika memudar saat dihadapkan dengan lembar demi lembar uang. 
How to Make Millions Before Grandma Dies merupakan proses karakternya dan juga penonton memahami bahwa harta bukanlah segalanya. 


Bila pesan di atas terdengar klise, itu karena debut penyutradaraan layar lebar dari Pat Boonnitipat  memang tidak berniat merombak formula. Dia tetaplah tearjerker yang dibuat untuk menghujani pipi penonton dengan air mata. Ketika di menit awal para karakter yang merupakan sebuah keluarga yang tengah berziarah di makam leluhur, tidak sulit menebak adegan seperti apa yang bakal menutup cerita filmnya nanti. 

Tapi di sisi lain, ada warna berbeda yang ia tawarkan. Lihat saat si protagonis, M (Putthipong Assaratanakul), mengunjungi rumah sang nenek yang dipanggil Amah (Usha Seamkhum) untuk pertama kali. Dia berjalan melintasi sudut-sudut kota, melewati pepohonan yang basah oleh rintik gerimis, ditemani musik lembut buatan Jaithep Raroengjai

Kedatangan M bukan kunjungan biasa, Amah baru di diagnosis mengidap kanker usus stadium 4, yang membuat sisa umurnya tinggal setahun lagi. Mengetahui bagaimana sepupunya, Mui (Tontawan Tantivejakul), memperoleh warisan rumah karena merawat kakeknya hingga akhir hayat, M yang gagal meraih kesuksesan sebagai streamer pun berharap bisa mendapatkan keberuntungan serupa.


Sekali lagi, kita tahu ke mana kisahnya bakal bermuara. Rencana culas M untuk memanfaatkan sang nenek nantinya malah berujung benar-benar merekatkan hubungan keduanya. Tapi siapa peduli di saat proses menuju ke sana mampu menghadirkan beragam emosi, dari tawa hangat sampai tangis haru? 

Usha Seamkhum yang di usia senjanya baru melakoni debut di film ini membuat saya tenggelam di setiap tatapannya yang menyimpan setumpuk misteri mengenai isi hati Amah. Sedangkan Putthipong Assaratanakul paling piawai membawakan tendensi M menyembunyikan kegundahan serta kesedihan memakai senyum dan tawa (poin ini akan berdampak besar di ending). Mereka berdua menjalin chemistry solid yang melahirkan interaksi penuh warna. Ada saling cela, bertukar canda, dan tentunya berbagi rasa. 

Di sisi lain, baik pengarahan Pat Boonnitipat maupun naskah yang ia tulis bersama Thodsapon Thiptinnakorn (SuckSeed, Friend Zone, The Con-Heartist) sama-sama jeli merumuskan tearjerker yang menyentuh tanpa harus terkesan mengemis tangis. Sebagaimana nampak pada momen kedatangan M yang saya singgung sebelumnya, Pat membangun dinamikanya secara bertahap. Cenderung lambat di paruh awal yang berfungsi sebagai fase observasi, sebelum akhirnya meledakkan emosi begitu memastikan penonton sudah terikat dengan karakternya. 

Seberapa pun kalian menahan cucuran air mata, kemungkinan besar tembok tersebut bakal runtuh di ending berlatarkan sebuah mobil pikap, yang menyampaikan salam perpisahan dengan begitu indah. Tebersit sebuah pertanyaan saat menyaksikan adegan itu. Apakah tangisan yang tumpah dikarenakan penggarapan filmnya yang bagus, atau semata karena penonton (termasuk saya) segera mengaitkan peristiwa di layar dengan kenangan personal? 

Jawabannya adalah "keduanya". How to Make Millions Before Grandma Dies terasa dekat karena ia paham betul dinamika keluarga, khususnya keluarga Asia. Bagaimana warisan bisa melenyapkan kasih sayang, bagaimana berkumpul di rumah nenek merupakan momen hangat yang selalu dinanti, bagaimana si nenek dengan tidak sabar menantikan kedatangan anak-cucu sembari mengenakan pakaian terbaiknya, pula bagaimana kesepian selepas kebersamaan terasa begitu menyengat terutama bagi lansia yang hidup seorang diri. Kenangan tentang segala kebersamaan itulah warisan berharga yang sesungguhnya. 

 

Posting Komentar

0 Komentar